Sejarah

Sejarah Bojong Kokosan di Kota Sukabumi

Sejarah Bojong Kokosan di Kota Sukabumi
Sejarah Bojong kokosan adalah nama desa di kecamatan parung kuda, kabupaten sukabumi, jawa barat. Bojong kokosan ini merupakan desa pemekeran yang sebelumnya merupakanbagian dari wilayah desa kompa. Karena peretumbuhan pendukuk semakin hari semakin meningkat , maka desa lkompa di mekarakan menjadi dua desa yaitu desa kompa dan desa bojong kokosan.
Desa Bojong Kokosan ini merupakan tempat terjadinya peristiwa perang konvoi atau lebih dikenal dengan pertempuran Bojong Kokosan melawan tentara inggris dan NICA pada tahun 1945 sampai 1946. pertempuran Bojo Kokosan ini merupakan perang konvoi pertama atau disebut dengan (The First Convoi Battle) dan menjadi cikal bakal dari peristiwa bandung lautan api.

Suasana terjadinya pertempuran Bojong Kokosan dimulai ketika pasukan tentara inggris, Gurkha, dan NICA sebanyak satu batalyon berusah amasuk ke Sukabumi.
Kedatangan tentara sekutu ke sukabumi dilatarbelakangi oleh 3 tujuan utama, yaitu:
1. Mengambil tawanan jepang yang berada diaeraha Sukabumi dan sekitarnya.
2. Memberikan bantuan ke Bandung yang pada saat itu sedang terjadi pergolakan antara pihak pemuda dengan tentara sekutu.
3. Menjaga kelancaran hubungan jalan darat antara Bogor – Sukabumi – Cianjur.

baca artikel lainnya: 5 Tempat Wisata di Kota Bandung Yang Wajib di Kunjungi

Peristiwa di Bojong Kokosan merupakan salah satu faktor penyebab dari peristiwa dari Bandung Lautan Api pada 24 maret 1946.
hal ini disebabkan karena ditinjau dari strategi nasiaonal daerah jalur Jakarta-Bogor-Sukabumi-Bandung merupakan urat nadi kekuatan sekutu untuk menguasai daerah yang dilalui jalur tersebut.

Kabar yang diterima para pejuang menyebutkan bahwa pasukan sekutu yang hendak menuju Bandung hanya terdiri seratusan orang yang dikawal beberapa kendaraan lapis baja dan persenjataan modern. Menggunakan strategi hit and run pertempuran ini terjadi selama sekitar 2 jam sebelum akhirnya tentara sekutu bisa melanjutkan perjalanannya, meskipun sepanjang jalan masih terjadi tembak – menembak.

Palagan Bojong Kokosan
Sejarah Bojong Kokosan di Kota Sukabumi

Dalam rangka mengenang pertempuran Bojong Kokosan, pemerintah membangun situs museum dan monumen Bojong Kokosan sebagai tanda penghargaan kepada para pejuang yang telah bertempur melawan sekutu. Pembangunan palagan perjuangan 1945 Bojong Kokosan dilakukan secara swakelola oleh pemerintah daerah jawa barat.
museum ini diresmikan pada 13 november 1992 oleh R.Moh Yogie Suardi Memet, Gubernur jawa barat yang menjabat pada tahun 1985 hinga 1993.
Koleksi utama museum ini adalah diorama, puing pesawat RAF, senjata laras panjang Lee Enfield, senjata laras pendek VOC, helmet pasukan sekutu dan TKR, serta pedang dan golok pasukan kelaskaran rakyat.

Palagan Bojong Kokosan merupakan ikon kebanggan masyarakat Sukabumi. Salah satu saksi hidup perjuangan Bojong Kokosan adalah bapak Satibi, meninggal dunia pada 26 November 2015 dirumah nya yang tidak jauh dari lokasi monumen Palagan Bojong Kokosan. Dia adalah salah satu yang mengurus dan menjaga monumen Palagan perjuangan tersebut sampai dia diapnggil oleh yang maha kuasa.

Berikut adalah Sejarah Bojong Kokosan di Kota Sukabumi.

5 Alasan Mengapa Belajar Sejarah Penting

5 Alasan Mengapa Belajar Sejarah Penting

Twitter diramaikan dengan desas-desus penyederhanaan kurikulum di mana mata pelajaran sejarah hanya akan dijadikan mata pelajaran pilihan; sifatnya tidak wajib, tidak diharuskan. Hal ini kemudian menarik perhatian banyak kalangan sehingga pro kontra terjadi.  Ya, memang, sejarawan tidak melakukan transplantasi jantung, memperbaiki desain jalan raya, atau menangkap penjahat. Dalam masyarakat yang mengharapkan pendidikan untuk melayani tujuan yang berguna, fungsi sejarah bisa tampak lebih sulit untuk didefinisikan daripada hal-hal teknis seperti kedokteran. Namun, sejarah sebenarnya sangat berguna, sebenarnya sangat diperlukan. Inilah 5 alasan mengapa memahami sejarah penting:

  1. Semua orang dan bangsa hidup dalam sejarah. Untuk mengambil beberapa contoh nyata: komunitas menggunakan bahasa yang diwarisi dari masa lalu. Mereka hidup dalam masyarakat dengan budaya, tradisi, dan agama yang kompleks yang tidak diciptakan secara mendadak. Orang-orang menggunakan teknologi yang tidak mereka ciptakan sendiri. Dan setiap individu dilahirkan dengan varian pribadi dari templat genetik yang diturunkan, yang dikenal sebagai genom, yang telah berevolusi selama masa hidup spesies manusia. Jadi memahami keterkaitan antara masa lalu dan masa kini sangatlah mendasar untuk pemahaman yang baik tentang kondisi manusia. Singkatnya, itulah mengapa Sejarah penting. Ini tidak hanya ‘berguna’, itu penting.
  2. Sejarah menawarkan gudang informasi tentang bagaimana orang dan masyarakat berperilaku. Bagaimana kita bisa menilai perang jika bangsa sedang dalam keadaan damai — kecuali kita menggunakan bahan sejarah? Bagaimana kita bisa memahami kejeniusan, pengaruh inovasi teknologi, atau peran yang dimainkan kepercayaan dalam membentuk kehidupan keluarga hari ini, jika kita tidak menggunakan apa yang kita ketahui tentang pengalaman di masa lalu? Beberapa ilmuwan sosial berusaha merumuskan hukum atau teori tentang perilaku manusia. Tetapi bahkan sumber-sumber ini bergantung pada informasi historis, kecuali dalam kasus-kasus yang terbatas dan seringkali artifisial
  3. Mereka yang tidak belajar sejarah ditakdirkan untuk mengulanginya. Kata-kata itu pertama kali diucapkan oleh George Santayana, dan masih sangat relevan hingga saat ini karena kebenarannya. Sejarah memberi kita kesempatan untuk belajar dari kesalahan masa lalu. Ini membantu kita memahami banyak alasan mengapa orang mungkin berperilaku sedemikian rupa. Hasilnya, ini membantu kita menjadi lebih welas asih sebagai manusia dan lebih tidak memihak sebagai pembuat keputusan. Di sekolah, kita seringkali hanya belajar tentang sejarah melalui perang dan tokoh-tokoh. Tapi sejarah lebih dari itu. Pemahaman sejarah yang terdalam berasal dari kehidupan manusia biasa. Para petani. Para petani. Para pekerja pabrik. Seperti apa hidup mereka? Bagaimana peristiwa sejarah memengaruhi orang-orang ini?
  4. Sejarah lebih dari sekedar catatan hidup bangsa, pemimpin, dan perang namun juga merupakan kisah bermakna.  Sejarah dikemas dengan kisah tentang bagaimana seseorang membela apa yang mereka yakini, atau mati demi cinta, atau bekerja keras untuk mewujudkan impian mereka. Semua ini adalah konsep yang bisa kita hubungkan dengan nilai yang kita pegang hari ini; sungguh beruntung jika kita mengetahui bahwa banyak orang-orang berjasa seperti mereka yang gugur membela bangsa tercinta, bukan? Mempelajari keragaman pengalaman manusia membantu kita menghargai budaya, ide, dan tradisi yang bukan milik kita Sejarah membantu kita menyadari betapa berbedanya pengalaman hidup kita dengan mereka yang hidup jauh sebelum kita, namun betapa miripnya kita dalam tujuan dan nilai kita.

          Baca Juga : MENGENAL JURUSAN DAN PROSPEK KERJA JURUSAN HUMAN RESOURCES/HR 

  1. Dalam konteks pendidikan, mempelajari sejarah dan humaniora lainnya tidak hanya dapat membangkitkan imajinasi seseorang dan melibatkan siswa, kursus sejarah juga dapat membantu siswa belajar bagaimana mengambil banyak informasi, bagaimana menulis dan mengkomunikasikan ide-ide itu secara efektif, dan, yang paling penting, menerima kenyataan bahwa banyak masalah tidak memiliki jawaban yang jelas. Hasilnya, kelas sejarah membantu siswa memupuk fleksibilitas dan kemauan untuk mengubah pikiran mereka saat mereka berusaha memecahkan masalah di bidang apa pun yang akhirnya mereka pilih.

Rumah Adat provinsi Dengan Gambar

34 Rumah Adat Provinsi di Indonesia dengan Gambar

Indonesia sangatlah kaya akan keberagaman, baik budaya, suku, ras, dan agamanya. Selain itu, di Indonesia juga terdapat banyak sekali rumah adat yang berbeda-beda di setiap provinsi.

34 Rumah Adat Provinsi di Indonesia

Apakah Anda penasaran bagaimana wujud dari rumahadat dari setiap provinsi di Indonesia? Bila ya, yuk, simak 34 rumah adat berikut ini:

1.Aceh: Rumah Adat Krong Bade

Rumah Krong Bade dari Aceh ini berbentuk memanjang dari timur ke barat menyerupai persegi panjang. Di bagian depan rumah dilengkapi dengan tangga untuk masuk ke dalam rumah. Umumnya, tangga pada rumah adat Aceh ini jumlahnya ganjil, yaitu sekitar 7 hingga 9 anak tangga.

2.Sumatera Utara: Rumah Bolon

Pada rumah adat Bolon ini, terdapat dua bagian yang berbeda, yaitu Jabu Bolon dan juga Jabu Parsakitan. Jabu Bolon biasa menjadi tempat untuk keluarga besar, sedangkan Jabu Parsakitan adalah tempat untuk membicarakan masalah adat.

Keunikan dari rumah adat Sumatera Utara ini adalah tidak ada sekatan antara setiap ruangan. Jadinya, semua anggota keluarga tidur bersama di dalam ruangan besar.

3.Sumatera Barat: Rumah Adat Gadang

Rumah adat satu ini terlihat mewah, bukan? Berasal dari Sumatera Barat, rumah ini memiliki beberapa atap yang runcing dan menjulang ke atas.

Rumah adat Gadang terbuat dari ijuk dan bentuknya mirip seperti tanduk kerbau, yang melambangkan kemenangan suku Minang dalam perlombaan adu kerbau di Jawa.

4.Riau: Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar

Rumah ini memiliki arti rumah dengan dua selasar. Masyarakat Riau tidak menjadikan Rumah Selaso Jatuh Kembar sebagai tempat tinggal mereka, tetapi hanya menggunakannya untuk acara adat.

5.Kepulauan Riau: Rumah Atap Limas Potong

Rumah adat dari Kepulauan Riau ini terlihat sangat sederhana. Berbentuk seperti rumah panggung, yang memanjang ke belakang dengan dinding kayu tersusun secara vertikal.

Atap dari rumah adat Limas Potong memiliki lima bumbungan dengan menggunakan seng berwarna merah.

6.Bengkulu: Rumah Adat Bubungan Lima

Rumah adat dari Bengkulu ini memiliki tiang penopang dan menggunakan kayu khusus untuk membuatnya, yaitu kayu Medang Kemuning. Untuk memasuki rumah ini, Anda juga harus menggunakan tangga, yang berada pada bagian depan rumah.

Sama seperti rumah adat dari Riau, masyarakat Bengkulu menggunakan rumah ini untuk acara adat saja, bukan untuk menjadi tempat tinggal.

7.Jambi: Rumah Adat Panggung

Rumah adat provinisi dari Jambi ini adalah desain yang tertua di daerah tersebut, dengan bentuk persegi panjang. Rumah Adat Panggung dilengkapi dengan tangga di depan rumah.

Orang-orang sering menyebutkan bagian atap dari Rumah Panggung ini sebagai “Gajah Mabuk” karena bentuknya yang menyerupai perahu dengan ujung melengkung. Biasanya, rumah adat dari Jambi digunakan untuk tempat tinggal dan juga tempat bermusyawarah.

Baca Juga : Tari Serimpi – Sejarah, Makna, Fungsi, Jenis, Kostum, Pola Gerakan, Gamelan & Keunikan

8.Lampung: Rumah Nuwo Sesat

Rumah adat Provinsi Lampung memiliki nama Nuwo Sesat. Ciri khas dari rumah ini adalah bentuknya panggung dan di sisi-sisinya terdapat ornamen yang khas. Biasanya, ukuran dari rumah ini sangat besar, tetapi saat ini banyak yang membuat Rumah Nuwo Sesat berukuran lebih kecil.

Namun, rumah ini tidak dibangun sebagai tempat tinggal. Sama seperti rumah adat lainnya,  Rumah Nuwo Sesat ini hanya dibangun untuk acara adat dan melakukan musyawarah.

Baca Juga:   Rumah Joglo, Jenis-Jenis dan Fungsi Ruangan

9.Sumatera Selatan: Rumah Limas

Rumah adat satu ini memiliki bentuk yang sesuai dengan namanya, yaitu menyerupai limas. Tamu yang berkunjung ke rumah ini harus singgah ke ruang atas atau teras rumah. Hal ini merupakan tradisi masyarakat Sumatera Selatan agar dapat merasakan budaya mereka, yang tampak pada ukiran di dalamnya.

10.Bangka Belitung: Rumah Rakit

Karena Bangka Belitung memiliki banyak yang tergenang air atau di tepi laut, warga setempat harus menyesuaikan diri, yaitu dengan membangun rumah di atas air juga yang dinamakan Rumah Rakit.  Bentuk rumah ini terlihat sangat unik karena merupakan perpaduan rumah Melayu dengan aksen arsitektur Tionghoa.

Pembuatan rumah ini menggunakan bambu khusus dan bahan lainnya, yang tentunya kuat dan membuatnya dapat mengapung di atas air. Rumah Rakit ini biasa menjadi tempat tinggal warga.

11.Banten: Rumah Baduy

Rumah adat dari Banten ini merupakan tempat tinggal suku Baduy, yang merupakan suku asli di wilayah tersebut. Biasanya, suku Baduy membuat rumah ini menggunakan bambu dan ijuk untuk atapnya.

Suku Baduy juga memiliki asas kekeluargaan yang amat kental. Inilah yang membuat mereka membangun rumah secara gotong royong sebagai tempat tinggal.

12.DKI Jakarta: Rumah Kebaya

Rumah Kebaya dari DKI Jakarta mengusung corak khas suku Betawi. Atap dari rumah ini menyerupai pelana terlipat dan memiliki corak-corak yang khas seperti kebaya.

Rumah Kebaya memiliki teras yang luas bertujuan untuk menjadi tempat santai keluarga dan menyambut tamu.

13.Jawa Barat: Rumah Kasepuhan

Rumat adat dari Jawa Barat ini merupakan peninggalan dari Kerajaan Islam di wilayah tersebut. Rumah yang sering disebut Keraton Kasepuhan ini sebenarnya merupakan perluasan dari Keraton Pakungwati. Tidak heran bila pintu utama keraton terlihat unik dan menawan.

14.Jawa Tengah: Rumah Joglo

Mungkin Anda sudah sering mendengar rumah adat dari Jawa Tengah yang sering disebut sebagai Rumah Joglo ini. Biasanya, bagian depan rumah akan ada pendopo untuk menjamu tamu.

Rumah adat Jawa Tengah ini memiliki empat tiang penopang. Selain itu, Anda juga bisa melihat sentuhan kejawen dari suku Jawa di sisi-sisi rumah.

15.DI Yogyakarta: Rumah Joglo

Sama seperti Rumah Joglo di Jawa Tengah, rumah dari DI Yogyakarta ini juga memiliki 4 tiang penopang dan terdiri dari dua bagian, yaitu rumah induk dan rumah tambahan. Bagian induk adalah tempat utama seperti rumah pada umumnya yang memiliki pendopo, teras, dan lain-lain. Sedangkan rumah tambahan, berisi pelengkap untuk rumah induk.

16.Jawa Timur: Rumah Joglo

Memang merupakan ciri khas dari Rumah Joglo memiliki 4 tiang penopang. Ini pula yang terlihat dari rumah adat Jawa Timur. Ciri khas dari Rumah Joglo ini terletak pada bentuk dan ukurannya yang unik dan juga makna seni yang tinggi.

Umumnya, rumah joglo di daerah ini tidak hanya digunakan sebagai tempat tinggal, tetapi juga untuk menyimpan peninggalan sejarah.

17.Kalimantan Barat: Rumah Panjang

Rumah adat Provinsi Kalimantan Barat ini mempunyai ukuran yang besar dan terdiri dari dua bagian, yaitu bangunan atas dan bawah.

Rumah ini sangat unik karena memadukan kesan modern dan tradisional sekaligus. Arsitektur Rumah Panjang bertema budaya Suku Dayak pada beberapa sisi bangunannya.

18.Kalimantan Timur: Rumah Lamin

Rumah Lamin dari Kalimantan Timur juga tidak kalah uniknya. Gaya arsitektur yang khas dan juga luas bangunannya menjadi ciri khas dari Rumah Lamin. Pada bagian atap rumah terdapat ornamen kepala naga dari kayu. Di sisi-sisi bangunannya juga terdapat ukiran atau lukisan budaya yang unik.

19.Kalimantan Selatan: Rumah Bubungan Tinggi

Menggunakan konsep panggung dan terbuat dari kayu ulin tentunya membuat rumah ini memiliki ketahanan yang kuat, dan akan lebih kuat lagi jika terkena air. Uniknya lagi, atap dari rumah ini memiliki sudut kemiringan 45 derajat. Keren sekali, bukan?

20.Kalimantan Tengah: Rumah Betang

Rumah Betang dari Kalimantan Tengah ini seperti panggung dengan kayu tinggi yang menopangnya dengan tujuan untuk menghindari banjir. Karena rumah ini sangat besar dan panjang, penghuninya dapat mencapai 150 orang loh, Guys.

21.Kalimantan Utara: Rumah Baloy

Rumah adat Provinsi Kalimantan Utara ini sangat unik loh, Guys. Bagaimana tidak rumah ini harus menghadap ke arah utara dan pintu utamanya di arah sebaliknya, yaitu selatan.

Baca Juga:   11 Warna cat ruang tamu agar terlihat mewah

Selain itu, Rumah Baloy memiliki empat bagian, yaitu lamin dalom, ambir tengah, ambir kanan, dan juga ambir kiri.

22.Gorontalo: Rumah Dulohupa

Rumah Dulohupa ini memiliki tiang kayu sebagai penopang dan juga penghias. Di kedua sisi rumah terdapat tangga,yang merupakan lambang dari tangga adat Gorontalo, yaitu Tolitihu.

23.Sulawesi Barat: Rumah Boyang

Rumah Boyang dari Sulawesi Barat berkonsep seperti panggung dengan tiang-tiang penopangnya. Tiang penopang tersebut tidak menancap ke dalam tanah melainkan berdiri di atas batu datar agar rumah tidak tumbang.

24.Sulawesi Tengah: Rumah Souraja

Rumah adat Provinsi Sulawesi Tengah ini memiliki tiga ruangan di dalamnya. Ruang pertama merupakan ruang depan untuk menerima tamu. Sedangkan pada ruang kedua terdapat ruang tengah, yang juga merupakan ruang tamu. Ruangan ini punya tujuan agar penghuninya bisa saling lebih dekat. Untuk ruang terakhir, merupakan ruang rahasia.

25.Sulawesi Utara: Rumah Walewangko

Rumah Walewangko ini merupakan rumah adat yang mendominasi di Sulawesi Utara. Sama seperti rumah adat provinsi lainnya, Rumah Walewangko ini juga memiliki arsitektur yang unik dan filosofi yang sangat kental dengan adat penduduknya.

26.Sulawesi Tenggara: Rumah Buton

Rumah Buton ini terbagi ke dalam tiga strata sesuai pemilik rumahnya. Pertama adalah Kamali (Malige), yang biasanya berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga sultan. Kedua, Tare Pata Pale, yaitu untuk pejabat pengadilan. Terakhir, adalah Tare Talu Pale untuk masyarakat biasa.

27.Sulawesi Selatan: Rumah Adat Tongkonan

Anda pastinya sering mendengar Rumah Tongkonan ini. Rumah ini merupakan rumah adat suku Toraja yang berada di Sulawesi Selatan.

Tongkonan berfungsi sebagai tempat tinggal masyarakat dan juga tempat acara adat. Arsitekturnya yang unik dan khas ini membuat rumah ini terlihat indah.

28.Bali: Rumah Gapura Candi Bentar

Rumah adat Provinsi Bali ini terdiri dari dua bagian, yaitu rumah huniannya dan juga Gapura Candi Bentar.

Arah bangunan, letak, dimensi pekarangan, dan beberapa aspek lainnya, harus mengikuti aturan khusus yang berlaku sesuai aturan agama. Hal inilah yang menjadi keunikan dari Rumah Gapura Candi Bentar.

29.Nusa Tenggara Timur: Rumah Musalaki

Rumah Musalaki ini biasanya menjadi tempat tinggal bagi kepala suku atau pemimpin daerah dan juga untuk menyelenggarakan acara adat. Rumah adat ini juga menjadi tempat untuk bermusyawarah dan melakukan ritual.

Uniknya, Rumah Musalaki berdiri di atas batu besar, yang berfungsi sebagai pondasinya untuk mengurangi risiko keretakan, jika terjadi bencana alam.

30.Nusa Tenggara Barat: Rumah Dalam Loka

Rumah Dalam Loka terlihat cukup besar dan megah karena merupakan kediaman raja di daerah tersebut. Di rumah ini, hanya terdapat satu pintu besar sebagai akses keluar masuk.

31.Maluku: Rumah Adat Baileo

Rumah adat lain yang tidak kalah unik adalah Rumah Baileo dari Maluku. Tidak ada dinding di rumah ini dan berbentuk panggung.

Untuk menyangganya, ada 9 tiang di rumah ini dengan batu pamali yang melengkapinya. Biasanya, warga setempat juga menggunakan batu pamali ini sebagai tempat sesaji bagi roh leluhurnya.

32.Maluku Utara: Rumah Sasadu

Sasadu merupakan rumah adat Suku Sahu. Desain rumah ini menggambarkan tentang kisah hidup bermasyarakat Suku Sahu. Selain memiliki keunikan dari sisi arsitektur, rumah ini juga menyimpan banyak filosofi.

33.Papua Barat: Rumah Adat Mod Aki Aksa

Rumah Mod Aki Aksa ini termasuk rumah adat terunik loh, Guys. Bagian atapnya terbuat dari ilalang dengan lantai dari anyaman rotan. Dinding-dindingnya tersusun dari kayu dan terlihat saling mengikat satu sama lain.

34.Papua: Rumah Adat Honai

Yang terakhir rumah adat dari Provinsi Papua ada Rumah Honai. Rumah ini berbentuk mengerucut dengan bagian atas ditutupi jerami kering. Atapnya mirip dengan batok kelapa dan tidak terlalu tinggi agar dapat menghangatkan bagian dalam rumahnya.

Rumah ini khusus untuk tempat tidur dan beristirahat, sedangkan aktivitas lainnya seperti mandi dan makan berada di tempat yang berbeda.

Wah, ternyata rumah adat di Indonesia sangat beragam dan memukau ya, Guys! Banyak sekali keunikan di dalamnya yang tentunya akan membuat kita semakin bangga dengan Indonesia.

Rumah Proklamasi, kisah di balik pembongkaran, dan impian membangun ‘rumah tiruannya’

Keinginan membangun kembali rumah Bung Karno — lokasi pembacaan teks Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, yang dirobohkan pada awal 1960an — sudah ditandai penggalian fondasinya, namun mengapa hingga kini sulit merealisasikannya?

Aflah Indonesia – Tahukah Anda di mana Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945?

Jawabannya: Di teras depan rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta.

Namun bangunan rumah bersejarah itu sudah lama rata dengan tanah, setelah Sukarno sendiri memerintahkan agar rumahnya dirobohkan — keputusan yang ditangisi para saksi sejarah dan sebagian sejarawan.

Mengapa Bung Karno membongkar rumah yang dia tempati selama empat tahun sejak pendudukan Jepang di tahun 1942?

Dan kenapa keinginan untuk membangun kembali rumah yang disebut sebagai ‘titik nol Republik Indonesia’ — simbol peralihan dari negara terjajah menjadi merdeka — itu tak juga terealisasi sampai sekarang, meski sempat digali fondasinya?

Rumah Proklamasi di mata seorang bocah…

Rumah Proklamasi

Suatu hari di awal 1950an, ketika usianya sekitar delapan atau sembilan tahun, Rushdy Hoesein diajak ayahnya masuk ke rumah Bung Karno.

Rumah itu dahulu terletak di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta — kini Jalan Proklamasi.

Di teras rumah itulah, saat Rushdy berusia dua bulan, Bung Karno dan Bung Hatta membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945.

Lebih dari 65 tahun kemudian, Rusdhy — kini dikenal sebagai sejarawan — masih ingat seperti apa suasana di dalam bangunan bersejarah itu.

“Ada piano tua, ada meja makan di depan kamar Bung Karno,” ungkap pria kelahiran 4 Juni 1945 ini kepada BBC News Indonesia. “Rumahnya bersih.”

Halaman depannya luas dihampari rumput dan berdiri pula tugu berukuran kecil di salah-satu sudutnya.

Saat itu Presiden Sukarno dan keluarganya sudah tinggal di Istana Merdeka, Jakarta. Namun masyarakat dibolehkan untuk mengunjungi rumah yang dahulunya milik orang Belanda itu.

Dalam kunjungan itu, sang ayah — “dia ikut berjuang dalam revolusi”, katanya — mengekalkan sebuah narasi penting pada benak sang bocah.

“Inilah, nak,” Rushdy menirukan suara ayahnya,” saksi mati dari proklamasi.”

Kata-kata itu, rupanya, menetap dan mengendap pada bocah itu.

Kelak pengalaman emosional bersama ayahnya ini ikut mendongkrak kesadaran Rushdy terhadap nilai penting keberadaan bangunan rumah yang nantinya disebut sebagai ‘titik nol Republik Indonesia’ ini.

Ketika dia tumbuh dewasa, dan tertarik dunia sejarah dan menggelutinya secara total, Rushdy disebut yang berdiri paling depan untuk meneruskan impian agar rumah Bung Karno itu dibangun kembali, setelah dibongkar pada awal 1960an — atas perintah pemiliknya sendiri, Sukarno.

Baca juga : ‘Dukun mencabuli saya’, kisah perempuan-perempuan yang mengalami pelecehan seksual di pusat pengobatan tradisional

Mengapa Sukarno membongkar rumahnya sendiri?

Di suatu siang, awal Februari lalu, saya mendatangi bekas rumah milik Bung Karno di lokasi yang kini disebut Taman Proklamasi, Jakarta, tidak jauh dari bioskop Megaria dan Stasiun Cikini, Jakarta Pusat.

Seraya melangkah, saya membayangkan bagaimana bentuk bangunan bersejarah itu — dalam ingatan kita, gambaran yang selalu terlintas adalah foto buram karya jurnalis IPPHOS (Indonesia Press Photo Service) pada buku-buku sejarah ketika dua orang proklamator berdiri di teras rumah dan membacakan naskah penting tersebut.

Di dalam areal itu, sekitar 15 meter di sebelah kiri saya, berdiri monumen patung Sukarno-Hatta — dibangun pada awal 1980an oleh Presiden Suharto — setinggi sekitar tiga meter.

Tidak jauh dari sana, masih di dalam kompleks Taman Proklamasi, berdiri tugu peringatan satu tahun Proklamasi yang berukuran kecil.

Adapun Gedung Pola — dibangun awal 1960an, sebuah bangunan yang awalnya disiapkan Presiden Sukarno sebagai tempat menggodok perencanaan pembangunan Indonesia ke depan — masih berdiri tegak di bagian belakang taman.

Informasi di mana letak persis teras tempat teks Proklamasi dibacakan, terbaca pada tulisan pada lempengan logam yang ditempel di tugu ‘petir’ — di atas tugu itu ada logo petir.

“Di sinilah dibatjakan proklamasi kemerdekaan Indonesia…” begitulah tulisan pada lempengan yang ditempel di bagian bawah tiang tersebut.

Sampai di sini sepertinya sudah terang-benderang, yaitu rumah Bung Karno itu sudah tidak berbentuk alias rata dengan tanah. Tapi ada pertanyaan penting lainnya: mengapa Sukarno memerintahkan rumah itu dibongkar? Apa alasannya?

“Semuanya masih tanda tanya besar, misteri, kenapa Bung Karno membongkarnya,” ungkap Rushdy Hoesein, sejarawan, yang semenjak awal 1990 terus meneliti keberadaan rumah Proklamasi.

“Sudah saya cari dari ujung ke ujung, sampai akhirnya kami tidak mendapatkan gambaran yang jelas,” tambah Rushdy, yang dikenal pula sebagai pengurus Yayasan Bung Karno.

Dihubungi secara terpisah, Candrian Attahiyat, arkeolog dan salah-seorang tim ahli cagar budaya DKI Jakarta, mengaku juga pernah menanyakan hal itu kepada beberapa “saksi sejarah”.

Tapi, “mereka juga tidak bisa menjelaskan [alasan pembongkaran], mereka tidak bisa memberikan komentar,” ungkap Candrian kepada BBC News Indonesia, akhir Januari silam.

Pada tahun 2000, Candrian menjabat kepala seksi penelitian di Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta. Ketika itu Candrian dan instansinya melakukan pengkajian rumah Proklamasi apakah perlu dibangun ulang atau tidak.

“Yang muncul kemudian, interpretasi orang-orang yang liar, sehingga tidak bisa dipegang, karena mereka tidak memiliki buktinya [mengapa dibongkar],” jelasnya.

Dia pernah mencoba menanyakan hal yang sama pada anak bungsu Presiden Sukarno, Guruh, namun jawabannya sama. “Saya nggak tahu, saya masih kecil,” kata Guruh, seperti ditirukan Candrian.

Rumah Proklamasi dibongkar karena dibangun Gedung Pola?

Tidak ada keterangan tunggal di balik alasan pembongkaran rumah Proklamasi, namun diperkirakan hal itu terjadi karena Sukarno memutuskan untuk membangun Gedung Pola di bagian belakang situs bersejarah itu di awal 1960an.

Arsitek yang peduli sejarah, Bambang Eryudhawan, memperkirakan Sukarno “mengorbankan” rumahnya sendiri untuk membangun Gedung Pola yang disiapkan sebagai lokasi pameran rencana pembangunan yang digagasnya.

“Di pikiran saya, kalau berusaha memahami Bung Karno, itu istilahnya kayak tumbal [untuk dijadikan Gedung Pola],” kata Bambang Eryudhawan, yang bersama Yayasan Bung Karno, pernah terlibat dalam proses perencanaan penataan ulang Taman Proklamasi, sekitar 2011.

Senada dengan Eryudhawan, sejarawan Rusdhy Hoesein juga memiliki perkiraan yang sama bahwa Bung Karno membongkar rumahnya karena berada di muka Gedung Pola.

“Karena menganggu pandangan dari depan, maka [rumahnya] dibongkar,” ujarnya, menganalisa.

Semangat Proklamasi dipindahkan ke Monas

Pada akhir 1950an, demikian analisa Eryudhawan, Presiden Sukarno baru saja melakukan perjalanan ke mancanegara, dan dia melihat langsung berbagai bangunan megah di negara AS, India, Eropa dan Filipina.

“Di India, dia dibawa (Perdana Menteri India saat itu) Nehru ke gedung parlemen di Delhi… Terus dia melihat peninggalan Mugal, mulai Agra hingga Tajmahal… Di Filipina, melihat Istana Malacanang yang bagus,” ujar Eryudhawan. Hal serupa juga dia saksikan di AS dan negara-negara Eropa.

Saat kembali ke Indonesia, Sukarno dianggapnya berpikir “kok Jakarta nggak OK?”

Jadi, “ada perspektif baru Bung Karno, bahwa inilah saatnya membangun Jakarta, termasuk rumahnya sendiri,” kata Eryudhawan. Perlu diketahui Sukarno adalah berlatar arsitek, katanya.

Dari pijakan inilah, menurutnya, Sukarno kemudian memindahkan semangat Proklamasi Kemerdekaan ke Monumen Nasional (Monas).

“Simbol itu dipindahkan, mirip yang dilakukan AS. Walaupun kemerdekaannya di Philadelpia, tapi pusat [simbol] kemerdekaannya dipindahkan ke Washington,” paparnya.

Menurutnya, pikiran Bung Karno berkembang, karena dia bukanlah tipe statis atau konvensional.

“Bahkan dia pragmatis, juga progresif, dan dia pernah bilang ‘kita itu bangsa membongkar dan membangun'”, ujar Eryudhawan, menganalisa.

Tentang pertanyaan kenapa Gedung Pola — dirancang oleh Friedrich Silaban (1912-1984) — harus dibangun di areal tanah rumahnya, Eryudhawan memperkirakan saat itu tidak gampang bagi pemerintah Indonesia untuk membebaskan tanah.

“Pembebasan tanah saat itu tidak gampang, bahkan untuk keperluan Asian Games 1962, negara [saat itu] menggunakan UU Darurat Perang,” jelasnya.

‘Apakah kamu ingin memamerkan celana kolorku?’

Di suatu seminar di Jakarta pada 2008 tentang wacana pembangunan kembali rumah proklamasi, yang saya hadiri, bermunculan berbagai asumsi di balik pembongkarannya — selain ‘teori’ dikorbankan untuk pembangunan Gedung Pola, itu tadi.

Pada awal 1960an, ketika Sukarno memutuskan akan membongkar rumahnya, masyarakat kemudian berpolemik ketika beritanya muncul di media massa.

“Berita itu,” demikian menurut makalah yang dibuat oleh Komite Pembangunan Rumah Proklamasi dalam seminar itu, “muncul secara ekstrem di berbagai koran ibu kota.”

Henk Ngantung, pejabat Gubernur DKI Jakarta saat itu, dilaporkan merasa prihatin terhadap rencana itu. Dia lantas menemui Presiden Sukarno dan membujuk agar membatalkan rencana itu.

Namun bujukan itu tak kuasa meluruhkan hati Sukarno. “Apakah kamu juga termasuk mereka yang ingin memamerkan celana kolorku?” tanya Bung Karno di hadapan Henk Ngantung, seperti dikutip Alwi Shahab (almarhum), wartawan senior, saat itu.

Rusdhy Hoesein mengaku pernah membaca kutipan pernyataan Bung Karno itu. “[Kutipan] ini belum tentu benar, tapi Bung Karno dikatakan agak tersinggung.” Belum jelas maksud dari pernyataan Sukarno tersebut.

‘Teori’ lainnya menyebutkan bahwa rumah Proklamasi — yang mulai ditempati pada 1942 hingga awal 1946 — dibongkar, karena rumah itu pernah dijadikan kantor oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Sutan Sjahrir, seperti diketahui, nantinya menjadi salah-satu lawan politik Sukarno. Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin Sjahrir dibubarkan karena salah-seorang pimpinannya dianggap terlibat pemberontakan PRRI di Sumatera.

Asumsi ini kemudian dikaitkan dengan keberadaan Tugu peringatan satu tahun Proklamasi Kemerdekaan — berbentuk pensil — yang diresmikan oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada 17 Agustus 1946.

Belakangan tugu ini dibongkar, dan beberapa laporan menyebutkan hal itu dilakukan karena tugu itu identik dengan Sjahrir dan Perjanjian Linggarjati. Para saksi sejarah membantah asumsi tersebut.

Sejarawan Rushdy Hoesein termasuk yang meragukan ‘teori’ pembongkaran rumah Proklamasi dengan dikaitkan perseteruan politik Sukarno-Sjahrir. “Tidak begitu,” katanya.

Setelah Sukarno tergusur dari kekuasaan, tugu itu dibangun tiruannya pada 1972, tetapi bukan di lokasi awalnya.

‘Rumah Proklamasi perlu dibangun kembali’

Rumah Proklamasi

Sejarah mencatat, upaya membujuk Sukarno agar membatalkan pembongkaran rumahnya, gagal total. Rumah bersejarah itu, akhirnya, rata dengan tanah — berganti wujud berupa Monumen Proklamasi dan Gedung Pola.

Namun demikian, seperti yang terungkap dalam seminar pada Agustus 2008 di Jakarta, yang disponsori Kantor Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Bung Karno dilaporkan tidak keberatan jika suatu saat rumah itu dibangun lagi.

“Untuk keperluan itu, Gubernur (DKI Jakarta) Henk Ngantung menugaskan sejumlah stafnya untuk membuat maket, foto-foto, dan menyimpan sejumlah perabot rumah tangga agar dikemudian hari dapat dipergunakan secara semestinya,” kata Rushdy Hoesein kepada saya di sela-sela seminar itu.

Rushdy, yang pernah dilibatkan dalam upaya merekonstruksi rumah Bung Karno, kemudian menunjukkan kepada saya sebuah salinan buku yang isinya berupa disain dua dimensi rumah itu, berikut foto-fotonya.

Dengan bersemangat, Rusdhy bercerita betapa rumah itu bersejarah. “(Rumah itu) tempat tinggal Bung Karno; tempat pembacaan naskah proklamasi; (tempat) perundingan dengan Belanda zaman (Perdana Menteri) Sutan Sjahrir sampai perundingan Linggarjati (1947).

“Dan tahun 1949, tempat persiapan pengakuan kedaulatan rakyat (oleh Belanda). Kemudian tahun 1957, ada musyawarah besar, di mana Bung Hatta tak lagi menjadi wapres, dan masyarakat meminta agar dwi tunggal terbentuk lagi,” papar Rushdy kala itu.

Pak Harto: ‘Yang bongkar saja [Sukarno] enggak setuju…’

Rupanya ide seperti ini pernah diupayakan sekian tahun silam, tetapi juga gagal.

Di masa Presiden Soeharto berkuasa, kira-kira awal 1980, pernah ada ide untuk membangun kembali rumah itu. Saat itu, kata Rushdy, ahli sejarah, toko masyarakat, serta saksi sejarah meminta agar Presiden Soeharto membangun kembali rumah tersebut.

“Pak Harto mengatakan, ‘Yang mbongkar saja [Sukarno] nggak setuju… Sudahlah kita akan mengenang beliau… Saya akan bangun patung proklamator yang gede‘,” ungkap Rushdy menirukan pernyataan Presiden Soeharto.

Monumen Proklamasi memang akhirnya berdiri (tidak persis di lokasi Sukarno membacakan teks proklamasi), tapi keinginan membangun rumah proklamasi tetap terus menyala.

Menggali fondasi Rumah Proklamasi

Lalu setelah Soeharto turun dari kekuasaannya, sejumlah sejarawan, pemerhati sejarah dan disokong pihak permuseuman Jakarta, kembali mengkampanyekan agar proyek rekonstruksi rumah proklamasi dihidupkan kembali.

Pada tahun 2000, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta menindaklanjuti keinginan masyarakat itu dengan melakukan pengkajian Rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur, Jakarta.

“Dikaji apakah bisa dibangun ulang atau tidak,” ungkap Candrian Attahiyat, arkeolog dan anggota tim ahli cagar budaya DKI Jakarta, kepada BBC News Indonesia, akhir Januari lalu. Candrian saat itu berposisi sebagai kepala seksi penelitian di instansi tersebut.

Salah-satu bagian dari pengkajian itu adalah melakukan penggalian di salah-satu sudut fondasi bekas rumah proklamasi. “Secara fisik saya melihat fondasi itu,” katanya.

“Jadi, nanti sudut [fondasi] itu bisa direkayasa sebagai bagian dari bentuk denah secara menyeluruh,” paparnya.

Salah-satu sudut fondasi yang digali adalah di belakang tugu petir yang diyakini sebagai lokasi persis teks proklamasi dibacakan.

Kemudian Candrian dan timnya memberi penanda berupa patok di atas fondasi yang kemudian ditutup kembali.

“Agar kelak apabila memang ada kemungkinan dibangun ulang atau memang diperlihatkan fondasinya, itu bisa dibuka kembali,” jelas Candrian.

Penggalian beberapa sudut fondasi bangunan rumah Bung Karno juga disaksikan sejarawan Rushdy Hoesein.

“Kalau tidak salah, masih ada septitanknya,” akunya — Rushdy lalu setengah berkelakar menambahkan jika ada penelitian di sana, mungkin saja ditemukan “sisa biologis” Sukarno.”

Mengapa ada perbedaan pendapat sejarawan dan ahli arkeologi?

Setelah penggalian fondasi itu, menurut Rusdhy, ide pembangunam rumah itu kembali mengemuka, dan tampaknya berlangsung serius — dilihat dari kaca mata saat itu, tentu saja.

Melalui pembicaraan panjang, sampai kira-kira tahun 2005, mereka sudah sampai pada satu titik, yaitu membangun kembali rumah itu semirip mungkin dengan aslinya — dan akan dijadikan musium proklamasi.

Bahkan saat itu sudah dibentuk Komite Pembangunan Rumah Proklamasi, yang disebutkan melibatkan kalangan profesional — mulai arsitek yang berpengalaman dalam konservasi gedung bersejarah, serta sejarawan.

Rushdy Hoesein, salah-seorang anggota komite tersebut, mengatakan saat itu kerja panitia sangat serius, tetapi proyek impian ini tidak berjalan.

Menurutnya, selain kendala dana dan masalah politik, penyebab lainnya adalah polemik tajam antara kalangan sejarawan dan arkeolog tentang cara merekonstruksi rumah itu.

Rusdhy kemudian menyebut nama seorang arkeolog senior, Profesor Mundardjito, yang disebutnya paling kritis mempertanyakan proyek itu.

“Pak Mundardjito bilang, etikanya kalau rumah itu sudah menjadi sisa bangunan, enggak boleh dibangun lagi,” kata Rusdhy akhir Januari lalu.

‘Jika menuruti saran arkeolog, nilai perjuangannya tidak ada’

Sebagai sejarawan, Rushdy memilih untuk membangun kembali rumah tersebut di lokasi aslinya.

“Yang kami inginkan rumah itu betul-betul sebagai monumen yang bersejarah, seperti sebelum dibongkar.

“Jadi, kalau di muka rumah proklamasi [yang dibangun ulang], ada kesan ‘wah, itu rumah yang dulu dipakai untuk proklamasi’,” paparnya.

Apabila menuruti saran arkeolog, Rushdy khawatir “nilai perjuangannya tidak ada”.

Perbedaan cara pandang ini, demikian Rushdy, menyebabkan beberapa pertemuan di antara mereka diwarnai “bersitegang leher”.

Dihubungi secara terpisah, arkeolog yang juga anggota tim ahli cagar budaya DKI Jakarta, Candrian Attahiyat mengakui ada perbedaan antara arkeolog dan sejarawan.

Candrian sependapat dengan sang arkeolog senior, Mundardjito. “Alasannya keaslian,” akunya.

“Kalau dibangun ulang, berarti itu sebuah data yang tidak asli lagi,” ujarnya saat dihubungi BBC News Indonesia. Dia sependapat dengan Mundardjito agar “memperlihatkan saja fondasinya.”

Arkeolog: ‘Jika mau dibangun, jangan di atas fondasi aslinya’

Pada pertengahan September 2008 silam, saya menemui Profesor Mundardjito di kediamannya, dan ternyata sikapnya tak berubah.

“Biarkan sisa fondasi bangunan yang ada, jangan didirikan bangunan di atasnya!” kata Mundardjito, yang dulu pernah berperan dalam pembangunan kembali Candi Borobudur.

Dia mengusulkan, agar fondasi bekas bangunan itu digali dan diungkap, dan dikonservasi sedemikian rupa.

“Jadi, nanti biarlah orang mengerti seperti inilah denah bangunan yang tersisa apa-adanya. Namun masyarakat juga harus diberitahu, bahwa rumah ini dulu dibongkar, yang mungkin atas inisiatif Bung Karno sendiri,” jelasnya saat itu.

Kalau ingin membangun rumah seperti aslinya, Mundardjito menyarankan, “warga harus tetap diberitahu, bahwa ini bukan gedung aslinya, tapi kira-kira seperti inilah bentuknya,” tandasnya.

Dan, menurutnya, bangunan tiruan ini jangan dibangun di atas fondasi aslinya.

“Jangan dibangun di situ (fondasi yang lama), tapi di luar itu,” kata Mundardjito, serius. Dia menambahkan, “Buat saja model (rumah)dalam bentuk miniatur, atau sebesar aslinya, itu silakan. Tapi tolong jangan di atas lokasi yang lama. Itu sangat ditentang arkoelog, karena itu tidak asli.”

Keinginan Mundardjito ini bertentangan dengan niat orang-orang yang ingin mendirikan rumah baru di atas fondasi asli tersebut, seperti yang terekam dalam diskusi pada 2008 silam.

Tetap belum ada titik temu

Seorang pemerhati sejarah mengatakan, pembangunan rumah Sukarno adalah untuk kepentingan lebih luas.

Para pendukung ide pembangunan kembali rumah Proklamasi menganggap, yang penting rumah itu dibangun semirip mungkin dengan aslinya. Apalagi, mereka mengaku telah menemukan foto-foto, disain rumah itu sebelum dibongkar, serta saksi sejarah.

Tapi Mundardjito menganggap, syarat-syarat itu tidaklah cukup. Menurutnya, apabila ingin dibangun di atas fondasi yang lama, harus ada tembok yang tersisa, sehingga bisa diketahui bahan asli bangunan itu. “Namun semua ini tidak terpenuhi,” katanya.

Lebih dari itu, menurut Mundardjito, jika proyek ini dipaksakan, bisa merusak keaslian situs asli fondasi itu. Dan cara berfikir seperti ini, tegas Mundardjito, bisa membahayakan kebenaran akademis yang relatif dan terus berkembang.

Dia kemudian mengusulkan, agar dibangun maket berukuran kecil yang bisa ditinjau ulang. Maket ini menurutnya dapat diletakkan di dekat fondasi asli, berikut memberi latar belakang sejarah bangunan tersebut.

Lay out itu bisa direkonstruksi, agar nanti ada sejarawan lain bisa menilai ulang, ‘oh bukan begitu, tugunya bukan di situ’. Nah, ganti lagi, taruh di sini.

“Jadi, ini sebagai rekonstruksi yang akademik sifatnya, yang boleh diganti sesuai pemikiran orang-orang yang punya data baru. Ini namanya perkembangan pemikiran orang-orang, yang tidak terus jadi berhenti,” jelas Mundardjito.

Dia khawatir apabila gedung baru dibangun di fondasi yang lama, orang-orang dipaksa untuk berhenti berfikir.

Rencana membangun museum Proklamasi…

Dalam perkembangannya, persisnya pada 2011, Rushdy Hoesein, Bambang Eryudhawan, Candrian Attahiyat — dan orang-orang yang peduli lainnya — sangat menaruh harapan, ketika Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata berencana membuat Museum Proklamasi.

“Kami serius sekali menggarap ini. Tahun ini kami kaji dari segi museum, sejarah, dan lain-lain. Kami mulai bikin tahun 2012,” kata Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Aurora Tambunan, awal Februari 2011.

Museum Proklamasi itu rencananya akan bertempat di Gedung Pola, kata Aurora.

Arsitek yang peduli sejarah, Bambang Eryudhawan, mengaku Yayasan Bung Karno kemudian dilibatkan dalam proses perencanaan master plan Taman Proklamasi — termasuk museumnya. Saat itu, pihaknya bekerjasama dengan pemenang lelang penataan ulang taman itu.

“Menarik sekali, ada goodwill dari pemerintah saat itu,” kata Eryudhawan. Pada saat itu, pemerintah pusat menyetujui pendekatan para arkeolog agar “cukup dibuka fondasinya” dan “tidak membangun rumahnya kembali.”

Keputusan tidak membangun ‘rumah tiruannya’ juga didasarkan pengalaman Amerika Serikat yang “tidak membangun rumah Benjamin Franklin, salah satu penandatangan Deklarasi Kemerdekaan AS”.

“Cuma membuat kerangkanya saja, karena antara sejarawan dan arkeolog ragu-ragu,” ungkap Eryudhawan.

Seperti apa konsep penataan Eryudhawan dkk?

Bekerja sama dengan pemenang lelang dan kementerian terkait, Eryudhawan dkk kemudian ikut menelorkan konsep penataan museumnya.

Salah-satunya, “bagian teras depan [rumah Bung Karno, tempat pembacaan teks proklamasi] yang bersejarah, bisa direkonstruksi di dalam Gedung Pola.”

Di sana, rencananya mereka akan merekonstruksi ruangan-ruangan penting di dalam rumah itu. “Kita rekonstruksi sebagaimana aslinya, terutama bagian depannya, ” Eryudhawan menjelaskan.

“Syukur, syukur, kita bisa merekonstruksi orang-orang yang hadir saat pembacaan teks Proklamasi,” ujarnya.

Rencana pendirian museum ini sangat didukung Yayasan Bung Karno, karena selama ini tidak ada museum Proklamasi di Indonesia.

“Tidak ada satu pun museum Proklamasi di republik ini,” kata Eryudhawan dengan nada getir.

Yang lebih penting lagi, saat itu mereka sudah menyiapkan narasi yang didukung artefak dan hasil ekskavasi fondasi yang tersisa, ungkapnya.

Adapun fondasinya, mereka akan menggali dan memunculkan salah-satu sudutnya, sehingga pengunjung museum bisa melongoknya.

Rencana yang disiapkan Eryudhawan dkk, pengunjung museum masuk dulu ke Tugu Proklamasi, melihat fondasi eks rumah Bung Karno, dan diajak masuk museum di Gedung Pola untuk melihat segala hal terkait artefak Proklamasi.

Jika rencana ini terealisasi, Eryudhawan yakin lanskap baru itu akan mampu mendudukkan posisi ‘Titik Nol Republik Indonesia’ pada hakikatnya.

“Sehingga semuanya terbaca dengan mudah dan baik, dan taman itu berklas… Karena pengunjung datang, pertama-tama bukan karena kesejarahan, namun karena ruangan itu memanggil.

Yang ada saat ini di Taman Proklamasi, menurutnya, “tidak mengundang, tidak ada daya tariknya, apalagi terbelenggu oleh pagar, yang kesannya seperti taman biasa.”

Anggota tim ahli Cagar Budaya DKI Jakarta, Candrian Attahiyat, sependapat bahwa keberadaan Taman Proklamasi tidak menyuguhkan narasi Proklamasi yang menarik.

“Seharusnya ada acara yang mengaitkan acara 17 Agustus di Istana dengan taman itu. Selama ini, setelah dari istana, yang dikaitkan adalah Taman makam pahlawan Kalibata,” kata Candrian.

Mengapa rencana membangun Museum Proklamasi batal?

Rencana membangun museum itu, yang sudah melalui diskusi mendalam, akhirnya kembali menguap begitu saja ketika terjadi pergantian pemerintahan.

Pada titik ini, Eryudhawan lantas bertanya-tanya, kenapa tidak ada pemimpin nasional yang berani untuk menata ulang Taman Proklamasi dan membangun museumnya.

“Kenapa kita yang harus mengupayakannya? Harusnya dengan sendirinya diurus negara. Tapi tidak pernah terjadi,” katanya masygul.

Dari kenyataan ini, dia menilai bahwa rumah Proklamasi “tidak dapat mendapat tempat yang pantas” di sini.

“Kecuali dirayakan setiap tanggal 17 Agustus, tapi justru tempat titik awalnya, dianggap biasa-biasa saja.”

Rushdy Hoesein pun ikut bersuara. Dia mengaku bersama Yayasan Bung Karno, keluarga Bung Karno dan Bung Hatta, sudah mengusulkan konsep penataan Taman Proklamasi kepada para pemimpin nasional di hampir setiap periode kepemimpinan.

“Tapi tidak pernah diperhatikan, tidak pernah disetujui,” akunya.

‘Buku Putih’ Rumah Proklamasi

Di hadapkan berbagai kendala seperti itu, Eryudhawan, Rusdhy dan dkk berencana mengeluarkan ‘buku putih’ Rumah Proklamasi.

Tujuannya memberi semacam panduan atau pedoman bagi masyarakat tentang rumah bersejarah itu. Hal ini ditekankan karena di media sosial terjadi apa yang disebutnya “informasi yang tidak terkendali”.

“Kita mau memberikan sumbangan pemikiran terhadap data yang bisa menguatkan posisi dari Titik Nol Republik Indonesia sebagaimana seharusnya,” jelasnya.

Dia mengharapkan sebelum 17 Agustus 2021 nanti, buku itu bisa terbit.

Adapun Rusdhy Hoesein sempat menarik napas panjang ketika ditanya perihal penerbitan buku putih ini.

“Ini bukan persoalan terbit atau tidak. Seyogyanya ini diprakarsai secara resmi oleh pemerintah,” kata Rusdhy yang terus mengupayakan penataan situs bersejarah itu sejak 1990an.

“Kalau kami mencetak, rasanya kurang pantas. Meski kami memiliki datanya, kami dengan berat hati, lebih baik disimpan sebagai arsip saja, jika pemerintah tidak turun tangan,” nada suara Rusdhy Hoesein terdengar pelan dan makin pelan.

Mekah 1979: Pengepungan Masjidil Haram yang mengubah sejarah Arab Saudi

Sudah empat dekade sejak seorang pengkhotbah dan para pengikutnya mengambil alih Masjidil Haram di Mekah – tempat paling suci dalam agama Islam – dan dijadikan ladang pembantaian.

Aflah Indonesia – Pengepungan itu, tulis Wartawan BBC Eli Melki, mengguncang dunia Muslim ke dasar-dasarnya dan mengubah arah sejarah Saudi.

Pada 20 November 1979, sekitar 50.000 umat Islam dari seluruh dunia berkumpul untuk salat subuh di halaman besar yang mengelilingi Ka’bah di Mekah.

Di antara mereka berbaur 200 pria yang dipimpin oleh seorang pengkhotbah kharismatik berusia 40 tahun bernama Juhayman al-Utaybi.

Ketika imam selesai memimpin salat, Juhayman dan para pengikutnya mendorongnya ke samping dan mengambil mikrofon.

Mereka telah menempatkan peti mati tertutup di tengah halaman, suatu tradisi mencari berkah untuk orang yang baru meninggal.

Tetapi ketika peti mati dibuka, mereka mengeluarkan pistol dan senapan, yang dengan cepat didistribusikan di antara para pria.

Salah satu dari mereka mulai membaca pidato yang sudah dipersiapkan: “Rekan-rekan Muslim, kami mengumumkan hari ini kedatangan Mahdi… yang akan memerintah dengan keadilan dan keadilan di bumi setelah dipenuhi dengan ketidakadilan dan penindasan.”

Bagi para peziarah yang berada halaman, ini adalah pengumuman yang luar biasa.

Dalam hadits – tentang apa yang dikatakan atau disetujui Nabi Muhammad – kedatangan Mahdi telah diramalkan.

Pengepungan Masjidil Haram yang mengubah sejarah Arab Saudi

Dia digambarkan sebagai seorang yang diberkahi dengan kekuatan luar biasa oleh Tuhan, dan sejumlah kalangan Muslim percaya dia akan mengantar era keadilan dan keyakinan sejati.

Pengkhotbah, Khaled al-Yami, seorang pengikut Juhayman, mengklaim bahwa “banyak yang telah menyaksikan kedatangan Mahdi”.

Ratusan Muslim telah melihatnya dalam mimpi mereka, kata Yami, dan sekarang dia ada di tengah-tengah mereka.

Nama Mahdi sang penyelamat adalah Mohammed bin Abdullah al-Qahtani.

Dalam rekaman audio pidato, Juhayman terdengar menginterupsi pembicara dari waktu ke waktu untuk mengarahkan orang-orangnya menutup gerbang masjid dan mengambil posisi sebagai penembak jitu di menara tinggi, yang kala itu mendominasi kota Mekah.

”Perhatian saudara-saudara! Ahmad al-Lehebi, naik ke atap. Jika Anda melihat seseorang menolak di gerbang, tembak mereka!”

Menurut saksi yang tak disebutkan namanya, Juhayman adalah orang pertama yang memberi penghormatan kepada Mahdi, dan segera orang lain mulai mengikuti teladannya. Teriakan “Tuhan itu luar biasa!” terdengar.

Tapi ada juga kebingungan. Abdel Moneim Sultan, seorang mahasiswa Mesir yang telah mengenal beberapa pengikut Juhayman, ingat bahwa Masjid Agung penuh dengan pengunjung asing yang berbicara sedikit bahasa Arab dan tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Melihat orang-orang bersenjata di ruang di mana Alquran dengan tegas melarang kekerasan, dan beberapa tembakan, mengejutkan banyak jamaah, yang bergegas untuk mencapai pintu keluar yang masih dibiarkan terbuka.

“Orang-orang terkejut melihat orang-orang bersenjata… Ini adalah sesuatu yang tidak biasa mereka lakukan. Tidak ada keraguan ini membuat mereka ngeri. Ini sesuatu yang keterlaluan,” kata Abdel Moneim Sultan.

Tetapi hanya dalam satu jam pengambilalihan yang berani itu selesai.

Kelompok bersenjata tersebut saat itu memegang kendali penuh atas Masjid al-Haram, memunculkan tantangan langsung kepada otoritas keluarga kerajaan Saudi.

Orang-orang yang menduduki Masjidil Haram itu adalah kelompok ultra-konservatif Muslim Sunni bernama al-Jamaa al-Salafiya al Muhtasiba (JSM) yang mengutuk apa yang mereka sebut degenerasi nilai sosial dan agama di Arab Saudi.

Dibanjiri dengan uang dari bisnis minyak, negara ini secara perlahan berubah menjadi masyarakat konsumerisme.

Mobil-mobil dan alat elektronik menjadi hal yang biasa, negara ini mulai mengenal urbanisasi dan beberapa pria dan perempuan religius mulai bercampur di publik.

Namun anggota JSM terus hidup dengan berdakwah, mempelajari Alquran dan Hadits dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam sebagaimana didefinisikan oleh lembaga keagamaan Saudi.

Juhayman, salah satu pendiri JSM – yang berasal dari Sajir, sebuah pemukiman sukui Badui di pusat Saudi – mengakui kepada pengikutnya bahwa masa lalunya jauh dari sempurna.

Pada malam yang panjang di sekitar perapian di padang pasir, atau pertemuan di rumah salah satu pendukungnya, ia akan menceritakan kisah pribadinya tentang kejatuhan dan penebusan kepada hadirin yang terpesona.

Pengepungan Masjidil Haram yang mengubah sejarah Arab Saudi

Usama al-Qusi, seorang siswa yang sering menghadiri pertemuan kelompok itu, mendengar Juhauman mengatakan bahwa ia pernah terlibat dalam “perdagangan ilegal, termasuk penyelundupan narkoba”.

Namun, dia telah bertobat, mempelajari agama dan menjadi pemimpin yang bersemangat dan berbakti – dan banyak anggota JSM, terutama mereka yang berusia muda, jatuh dibawah mantranya.

Kebanyakan dari mereka yang mengenalnya, seperti mahasiswa agama Mutwali Saleh, membuktikan kekuatan kepribadiannya dan juga pengabdiannya: “Tidak ada yang melihat pria ini dan tidak menyukainya. Dia aneh. Dia memiliki apa yang disebut kharisma. Dia setia pada misinya dan dia menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah, siang dan malam.”

Namun, bagi seorang pemimpin agama, dia berpendidikan rendah.

“Juhayman ingin pergi ke daerah-daerah terpencil dan pedesaan tempat tinggal orang Badui,” kenang Nasser al-Hozeimi, seorang pengikut dekat.

“Karena bahasa Arab klasiknya [bahasa yang dikuasai oleh semua cendekiawan Islam] lemah dan dia memiliki aksen Badui yang kuat, dia menghindari berbicara kepada audiens yang berpendidikan untuk menghindari ekspos.”

Di sisi lain, Juhayman pernah bertugas sebagai tentara di Garda Nasional dan pelatihan militernya -meski belum sempurna- terbukti penting ketika harus mengatur pengambilalihan.

Akhirnya, JSM mulai berbenturan dengan beberapa ulama Saudi dan tindakan keras dilakukan oleh pihak berwenang.

Juhayman melarikan diri ke padang pasir, di mana dia menulis serangkaian pamflet yang mengkritik keluarga kerajaan saudi atas apa yang dia anggap sebagai dekadensi, dan menuduh ulama berkolusi untuk keuntungan duniawi.

Dia meyakini bahwa Arab Saudi telah rusak dan bahwa hanya intervensi surgawi yang dapat membawa keselamatan.

Pada titik inilah ia mengidentifikasi Mahdi sebagai Mohammad Bin Abdullah al-Qahtani, seorang pengkhotbah muda yang bersuara lembut yang dikenal karena tata krama, pengabdian, dan puisi yang baik.

Hadits menyebut tentang seorang Mahdi dengan nama depan dan nama ayah mirip dengan nabi, dan penampilan yang digambarkan memiliki dahi besar dan hidung tipis dan bengkok,

Juhayman melihat semua fitur ini dalam diri al-Qahtani, tetapi orang yang diduga sebagai penyelamat itu terkejut dengan gagasan Juhayman. Karena kewalahan, dia akhirnya hidup menyepi.

Namun, akhirnya, ia keluar dari isolasi dan yakin bahwa Juhayman benar. Dia mengambil peran sebagai Mahdi, dan persekutuan dengan Juhayman semakin erat ketika kakak perempuan Qahtani menjadi istri kedua Juhaiman.

Beberapa bulan sebelum pengepungan, desas-desus aneh menyebar bahwa ratusan orang Mekah dan peziarah telah melihat al-Qahtani dalam mimpi mereka, berdiri tegak di Masjidil Haram dan memegang spanduk Islam.

Pengikut Juhaiman yakin. Mutwali Saleh, seorang anggota JSM, mengenang: “Saya ingat pertemuan terakhir ketika seorang saudara bertanya kepada saya, ‘Saudara Mutwali, bagaimana pendapat Anda tentang Mahdi?’

Saya berkata kepadanya, “Maaf, tolong, jangan bicarakan hal ini.” Kemudian seseorang berkata kepada saya, ‘Anda adalah setan yang pendiam. Saudaraku, Mahdi itu nyata dan dia adalah Muhammad bin Abdullah al-Qahtani.”

Di daerah-daerah terpencil tempat ia mencari perlindungan, Juhayman dan para pengikutnya mulai bersiap-siap menghadapi konflik kekerasan yang akan datang.

Kepemimpinan Saudi bereaksi lamban terhadap perebutan Masjid al-Haram.

Putra Mahkota Fahd bin Abdulaziz al-Saud berada di Tunisia untuk menghadiri KTT Liga Arab dan Pangeran Abdullah, kepala Garda Nasional – pasukan keamanan elit yang bertugas melindungi para pemimpin kerajaan – berada di Maroko.

Insiden itu kemudian diserahkan kepada Raja Khaled dan Menteri Pertahanan Pangeran Sultan yang sedang sakit untuk mengoordinasi tanggapan.

Polisi Saudi pada awalnya gagal memahami skala masalah dan mengirim beberapa mobil patroli untuk menyelidiki, tetapi ketika mereka pergi ke Masjid al-Haram mereka disambut oleh hujan peluru.

Setelah gravitasi situasi menjadi jelas, unit Garda Nasional meluncurkan upaya tergesa-gesa untuk merebut kembali kendali masjid.

Mark Hambley, seorang pejabat politik di kedutaan besar AS di Jeddah dan salah satu dari sedikit orang Barat yang mengetahui situasi tersebut, mengatakan serangan ini berani tetapi naif.

“Mereka langsung ditembak jatuh,” katanya. “Penembak dengan peluru tajam memiliki senjata yang sangat bagus, senapan Belgia yang sangat bagus.”

Menjadi jelas bahwa para pemberontak telah merencanakan serangan mereka secara rinci dan tidak akan mudah untuk diusir.

Sebuah barisan keamanan didirikan di sekitar Masjidil Haram, dan pasukan khusus, pasukan terjun payung dan satuan lapis baja dipanggil.

Seorang pelajar, Abdel Moneim Sultan, yang terperangkap di dalam, mengatakan bentrokan meningkat sejak tengah hari pada hari kedua.

”Saya melihat tembakan artileri diarahkan ke menara, dan saya melihat helikopter melayang-layang di udara, dan saya juga melihat pesawat militer,” kenangnya.

Masjidil Haram adalah sebuah bangunan luas yang terdiri dari galeri dan koridor, dengan panjang ratusan meter, mengelilingi halaman Ka’bah, dan dibangun di dua lantai.

Selama dua hari berikutnya, Saudi meluncurkan serangan frontal dalam upaya untuk mendapatkan pintu masuk. Namun pemberontak memukul mundur gelombang demi gelombang serangan, meskipun mereka kalah dalam sisi jumlah dan senjata.

Abdel Moneim Sultan ingat bahwa Juhayman tampak sangat percaya diri dan santai ketika mereka bertemu di dekat Ka’bah hari itu.

“Dia tidur selama setengah jam atau 45 menit dengan meletakkan kepalanya di atas kaki saya, sementara istrinya berdiri. Dia tidak pernah meninggalkan sisinya,” ujarnya.

Pemberontak kemudian menyalakan api menggunakan karpet dan ban karet untuk menghasilkan asap tebal, mereka kemudian bersembunyi di balik tiang sebelum menyerbu pasukan Saudi dalam kegelapan.

Bangunan suci itu berubah menjadi ladang pembantaian dan korban jiwa terus meningkat menjadi ratusan.

“Ini adalah konfontrasi satu lawan satu, dalam ruang terbatas,” kata Mayor Mohammad al-Nufai, komandan pasukan khusus Kementerian Dalam Negeri.

“Situasi pertempuran dengan peluru melesat lewat, kiri dan kanan – itu adalah sesuatu yang sulit dipercaya.”

Sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh ulama utama Kerajaan, yang dikumpulkan oleh Raja Khaled, memperbolehkan militer Saudi untuk menggunakan kekuatan apa pun untuk mengusir pemberontak.

Rudal yang dipandu anti-tank dan senjata berat kemudian digunakan untuk mengusir para pemberontak dari menara, dan pengangkut personel lapis baja dikirim untuk menembus gerbang.

Para pemberontak dilindungi oleh Mahdi. “Saya melihatnya dengan dua luka kecil di bawah matanya dan thowb (baju)-nya penuh dengan lubang-lubang akibat tembakan,” kata Abdel Moneim Sultan.

“Dia percaya bahwa dia bisa mengekspos dirinya sendiri di mana saja dari keyakinan bahwa dia abadi – dia adalah Mahdi, bagaimanapun juga.”

Tapi keyakinan Qahtani pada kekebalannya sendiri tidak berdasar dan dia segera diserang oleh tembakan.

“Ketika dia diserang, orang-orang mulai berteriak: ‘Mahdi terluka, Mahdi terluka!’ Beberapa mencoba berlari ke arahnya untuk menyelamatkannya, tetapi api yang tebal mencegah mereka untuk melakukan hal itu, dan mereka harus mundur,” kata saksi anonim.

Mereka memberitahu Juhayman bahwa Mahdi terluka, namun dia menyatakan ini kepada pengikutnya: “Jangan percaya mereka. Mereka adalah desertir!”

Baru pada hari keenam, pasukan keamanan Saudi berhasil menguasai halaman masjid dan bangunan sekitarnya.

Baca juga : Apa yang terjadi pada orgasme perempuan? Inilah penjelasan dokter

Namun pemberontak yang tersisa mundur ke labirin yang berisi kamar-kamar dan sel di bawah tanah, diyakinkan oleh Juhayman bahwa Mahdi masih hidup, di suatu tempat dalam bangunan itu.

Situasi mereka kini mengerikan. “Bau kematian dan luka-luka yang membusuk mengepung kami,” kata saksi anonim itu.

“Pada awalnya air tersedia, tetapi kemudian mereka mulai menjarah persediaan. Kemudian mereka kehabisan waktu dan mulai memakan bola-bola adonan mentah… Suasana yang menakutkan. Rasanya seperti Anda berada di film horor.”

Meskipun pemerintah Saudi mengeluarkan satu komunike demi komunike mengumumkan kemenangan mereka, ketiadaan doa yang disiarkan ke dunia dunia Islam menceritakan kisah lain.

“Saudi mencoba taktik demi taktik, dan itu tidak berhasil,” kata Hambley.

“Itu mendorong para pemberontak lebih dalam dan lebih dalam ke katakombe.”

Jelas pemerintah Saudi membutuhkan bantuan untuk menangkap para pemimpin hidup-hidup dan mengakhiri pengepungan. Mereka kemudian meminta bantuan Presiden Prancis kala itu, Valéry Giscard d’Estaing.

“Duta besar kami mengatakan bahwa sangat jelas pasukan Saudi tidak terorganisir dengan baik dan tidak tahu bagaimana bereaksi,” ujar Giscard d’Estaing kepada BBC, yang untuk pertama kalinya mengkonfirmasi peran Prancis dalam krisis ini.

“Bagi saya itu berbahaya, karena kelemahan sistem, ketidaksiapannya, dan dampaknya pada pasar minyak global.”

Presiden Prancis diam-diam mengirim tiga penasihat dari unit kontra-teror yang baru dibentuk, GIGN. Operasi harus tetap rahasia, untuk menghindari kritik terhadap intervensi Barat di tempat kelahiran Islam.

Tim Prancis berkantor pusat di sebuah hotel di kota terdekat Taif, tempat tim itu menyusun rencana untuk mengusir para pemberontak – ruang bawah tanah akan diisi dengan gas, untuk membuat udara tidak dapat dihirup.

“Lubang-lubang digali setiap 50 meter untuk mencapai ruang bawah tanah,” kata Kapten Paul barril, yang bertugas melaksanakan operasi.

“Gas disuntikkan melalui lubang-lubang ini. Gas disebar dengan bantuan ledakan granat ke setiap sudut tempat para pemberontak bersembunyi.”

Bagi saksi anonim, bersembunyi di ruang bawah tanah dengan pemberontak terakhir yang masih bertahan, dunia tampaknya akan segera berakhir.

“Perasaan itu seolah-olah kematian telah datang kepada kami, karena Anda tidak tahu apakah ini suara menggali atau senapan, itu adalah situasi yang menakutkan. ”

Rencana Prancis terbukti berhasil.

“Juhayman kehabisan amunisi dan makanan dalam dua hari terakhir,” kata Nasser al-Hozeimi, salah satu pengikutnya.

“Mereka berkumpul di sebuah ruangan kecil dan para prajurit melemparkan bom asap ke arah mereka melalui lubang yang mereka buat di langit-langit… Itu sebabnya mereka menyerah. Juhayman pergi dan mereka semua mengikuti.”

Maj Nufai menyaksikan pertemuan berikutnya antara para pangeran Saudi dan Juhayman yang tertegun tetapi tidak menyesali peruatannya: “Pangeran Saud al-Faisal bertanya kepadanya: ‘Mengapa Juhayman?’ Dia menjawab: ‘Ini hanya takdir.’ ‘Apakah kamu membutuhkan sesuatu?’ Dia hanya mengatakan: ‘Saya ingin air’.

Juhayman diarak di depan kamera dan sebulan kemudian, 63 pemberontak dieksekusi di delapan kota di Arab Saudi. Juhayman adalah yang pertama mati.

Sementara kepercayaan Juhayman akan Mahdi mungkin telah membedakannya, dia adalah bagian dari gerakan konservatisme sosial dan agama yang bereaksi terhadap modernitas, di mana ulama garis keras memperoleh kendali atas kendali keluarga kerajaan.

Salah satu orang yang beraksi adalah Osama Bin Laden. Dalam salah satu pamfletnya terhadap keluarga yang berkuasa di Saudi, dia mengatakan mereka telah “menodai Haram, ketika krisis ini bisa diselesaikan secara damai”.

Dia melanjutkan: “Saya masih ingat sampai hari ini jejak jejak mereka di lantai Haram.”

“Aksi Juhayman menghentikan semua modernisasi,” ujar Nasser al-Huzaimi.

“Izinkan saya memberi Anda sebuah contoh sederhana. Salah satu hal yang dia minta dari pemerintah Saudi adalah penghapusan presenter perempuan dari TV. Setelah insiden Masjidil Haram, tidak ada presenter perempuan muncul di TV lagi.”

Arab Saudi tetap berada di jalur ultra-konservatif ini selama hampir empat dekade. Baru-baru ini ada tanda mencair dan terjadi perubahan.

Dalam wawancara pada Maret 2018, Putra Mahkota Mohammed Bin Salman, mengatakan bahwa sebelum 1979, “Kami menjalani kehidupan normal seperti negara-negara Teluk lainnya, perempuan mengendarai mobil, ada bioskop di Arab Saudi.”

Hari Valentine Tanggal 14 Februari 2022: Ini Sejarah & Asal Mulanya

Aflah Indonesia – Tanggal berapa Hari Valentine 2022? Hari Valentine 2022 jatuh pada tanggal 14 Februari. Hari ini juga disebut Hari St. Valentine. Pada hari ini, biasanya setiap orang akan mengungkapkan kasih sayang dengan kata-kata indah dan hadiah.

Asal Mula Hari Valentine Tanggal 14 Februari

Hari Valentine Tanggal 14 Februari 2022

Hari Valentine atau disebut juga Hari St. Valentine diperingati setiap tanggal 14 Februari. Hari tersebut lekat dengan hari untuk mengungkap kasih sayang dengan ucapan atau hadiah bagi orang-orang dekat. Dikutip dari Ensiklopedia Britannica, Valentine berawal dari festival Romawi Lupercalia, yang diadakan pada pertengahan Februari.

Festival tersebut merayakan kedatangan musim semi, termasuk upacara kesuburan dan hari perjodohan bagi pria dan wanita dengan lotre. Pada akhir abad ke-5, Paus Gelasius I menggantikan Lupercalia dengan Hari St. Valentine. Valentine mulai lekat dengan keromantisan mulai sekitar abad ke-14.

Ada beberapa legenda yang menyebut dari mana nama Valentine berasal. Hari itu dipercaya diambil dari nama seorang imam yang mati syahid sekitar 270 M dari Kaisar Claudius II Gothicus. Menurut legenda, sang imam menandatangani surat “dari Valentine Anda” kepada putri sipirnya, yang telah ia kenal dan telah sembuh dari kebutaan.

Catatan lain menyatakan, nama Valentine berasal dari Santo Valentine dari Terni, seorang uskup. Beberapa sumber menyebutkan, dua orang itu sebenarnya sama.

Legenda umum lainnya menyatakan St. Valentine menentang perintah kaisar dan diam-diam menikahkan pasangan suami istri untuk menyelamatkan suami dari perang. Membantu orang Kristen adalah sebuah pelanggaran bagi Kaisar (pada masa itu Kristen dianggap agama sesat di Roma). Valentine kemudian ditangkap dan dipenjara.

Saat Kaisar memanggilnya, dengan berani ia justru bersaksi dan menyuruh Kaisar bertobat. Valentine dihukum mati karenanya. Dia dirajam batu sebelum kepalanya dipenggal di luar gerbang Flaminia.

Berdasarkan kisah lainnya, ketika dalam penjara, Valentine jatuh cinta dengan putri sipir penjara dan mengirim surat pada tanggal 14 Februari sebagai ungkapan perasaannya dan ucapan perpisahan sebelum di eksekusi.

Mengenakan mahkota bunga, tengkorak Santa Valentine diletakkan di Chiesa di Santa Maria di Cosmedin, Plaza Bosca de lla Verita, Roma. Para pasangan menganggap tempat tersebut sebgai situs suci yang mengisahkan keabadian dan pengorbanan cinta.

Tradisi Valentine di Berbagai Negara

Hari Valentine mulai muncul pada tahun 1500-an, dan pada akhir tahun 1700-an kartu yang dicetak secara komersial mulai digunakan. Kartu Velantine pertama di Amerika Serikat dicetak pada pertengahan tahun 1800-an.

Simbol-simbol yang lekat dengan Valentine umumnya adalah Cupid, dewa cinta Romawi, bersama dengan gambar hati. Karena musim kawin burung dimulai pada pertengahan Februari, burung juga menjadi simbol Valentine.

Sementara, hadiah yang biasa diberikan saat Valentine termasuk permen dan bunga, khususnya mawar merah, simbol kecantikan dan cinta.

Valentine populer di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, dan juga dirayakan di negara lain, termasuk Argentina, Perancis, Meksiko, dan Korea Selatan.

Di Filipina, ratusan pasangan memilih 14 Februari sebagai tanggal pernikahan. Namun pemaknaan Valentine meluas ke ekspresi kasih sayang di antara saudara dan teman. Banyak anak sekolah bertukar kartu atau haduah satu sama lain pada hari ini.

Tradisi valentine di satu negara berbeda dengan negara lainnya. Misalnya di Korea Selatan, tradisi valentine di Korea Selatan adalah tanggal 14 Februari di mana perempuan memberikan coklat ke laki-laki.

Kemudian satu bulan setelahnya, yaitu tanggal 14 Maret yang biasanya disebut white day, laki-laki memberikan kepada perempuan hadiah pengganti.

Berbeda dengan Korea Selatan, Desa St.Veint di Perancis merayakan hari valentine dengan menanam pohon untuk memperingati cinta, sementara itu ada juga yang bertukar catatan kasih sayang yang disebut cartes d’amities.

Beralih dari Perancis, perayaan hari valentine di Cina biasanya disebut dengan festival Qizi, pada festival ini perempuan biasanya berdoa untuk mendapakan suami yang baik.

Tidak hanya satu pihak yang memberikan, di Jerman valentine dirayakan dengan bertukar patung, gambar dan coklat berbentuk babi.

Tips Merayakan Hari Valentine Saat Pandemi

Mengungkapkan perasaan terhadap orang yang dusayangi masih tetap bisa dilakukan walaupun dalam kondisi pandemi Covid-19.

1. Tidak memberikan tekanan terhadap pasangan

Saat hari valentine tiba jangan terlalu menekan pasangan untuk harus merayakan valentine di luar rumah, atau melakukan hubungan seks hari itu juga. Anda bisa coba fokus pada hal-hal kecil seperti memberikan relaksasi berupa memijat bahu atau membuatkan minuman yang disukainya.

2. Mengubah rutinitas

Untuk merayakan hari spesial menjadi istimewa tidak harus melakukan perayaan besar di luar rumah, melainkan bisa menghabiskan waktu dengan pasangan di rumah.

Cobalah untuk melakukan kegiatan seru di rumah seperti menulis catatan yang menyentuh, bermain game bersama, memesan bunga atau cokelat dapat membuat harimu istimewa karena dilakukan oleh orang tersayang.

3. Ganti suasana rumah

Setelah sekian lama suasana rumah dengan perabotan yang begitu-begitu saja akan membuat pasangan bosan. Menggantinya dengan yang baru akan membuat hati pasangan senang. Tidak perlu mengubah semua isi rumah, cukup hal-hal yang sederhana seperti mengganti sprei atau bola lampu.

4. Menghabiskan waktu khusus

Pada saat hari valentine luangkan waktu untuk pasangan. Hal ini karena inti dari hari spesial adalah waktu luang untuk memerhatikan satu sama lain. Berikan perhatian lebih kepada pasangan agar lebih mengenal.

Hal ini dapat dilakukan di mana saja, bahkan walaupun sibuk sehari setelah kerja, luangkan satu atau dua jam di depan televisi atau kamar tetap akan membuat hari valentine spesial.

5. Melakukan hubungan seks dalam kondisi relaks

Pada saat kondisi pasangan lelah alangkah lebih baik tidak mengajak untuk berhubungan seks karena memaksakannya hanya akan membuat pasangan semakin lelah dan kondisi mood yang tidak baik.

Sebaiknya tunggu pasangan dalam keadaan mood yang baik atau biarkan relaksasi dengan teh, coklat hangat, atau minuman kesukaannya.